BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengaturan beberapa proses fisiologis
melibatkan kerjasama struktural dan fungsional antara sistem endokrin dan sisem
saraf. Banyak organ dan jaringan endokrin memiliki sel-sel saraf khusus, yang
disebut sel-sel neurosekresi yang mensekresikan hormon. Bahkan hewan yang
sangat berbeda seperti serangga dan vertebrata mempunyai sel-sel neurosekresi
dalam otaknya yang mensekresikan hormon kedalam darah. Beberapa zat kimia
mempunyai fungsi baik sebagai sistem hormon endokrin maupun sebagai sinyal
dalam system saraf. Epinefrin (dikenal pula sebagai adrenalin), misalnya,
berfungsi dalam tubuh vertebrata sebagai apa yang disebut hormon “fight or flight” (yang dihasilkan oleh medulla adrenal,
suatu kelenjar endokrin) dan sebagai neurotransmitter yang mengirimkan pesan
antara tiap neuron dalam sistem saraf.
Sistem endokrin adalah sistem kontrol kelenjar tanpa saluran (duictless) yang menghasilkan hormon yang tersirkulasi di tubuh melalui aliran darah untuk memengaruhi organ-organ lain. Hormon bertindak
sebagai "pembawa pesan" dan dibawa oleh aliran darah ke berbagai sel
dalam tubuh, yang selanjutnya akan menerjemahkan pesan tersebut menjadi suatu
tindakan. Sistem endokrin tidak memasukkan kelenjar eksokrin seperti kelenjar
ludah, kelenjar
keringat, dan kelenjar-kelenjar lain dalam saluran
gastroinstestin. Sistem endokrin terdiri
dari sekelompok organ (kadang disebut sebagai kelenjar sekresi internal), yang fungsi utamanya adalah menghasilkan dan melepaskan
hormon-hormon secara langsung ke dalam aliran darah. Hormon berperan sebagai
pembawa pesan untuk mengkoordinasikan kegiatan berbagai organ tubuh. Berbagai makhluk hidup mempunyai hormon untuk
mengkoordinasikan kegiatan dalam tubuhnya.
Pada
insekta kelenjar endokrin lebih banyak digunakan untuk proses pertumbuhan
dan metamorfosis. Selama masa pertumbuhan, serangga akan menanggalkan
eksoskeletonnya secara berkala. Proses pergantian kulit ini disebut
molting. Molting terjadi sampai stadium dewasa. Hormon
yang menyebabkan terjadinya molting adalah hormon ekdison. Hormon ini
dihasilkan dari kerja sama kelenjar protorasik yang terletak di dalam dada
dan hormon yang dihasilkan oleh otak. Otak serangga juga menghasilkan
hormon yang mempengaruhi proses metamorfosis, yaitu hormon juvenil. Hormon
ini berfungsi menghambat proses metamorfosis. Sekresi hormon juvenil yang
cukup akan membuat ekdison merangsang pertumbuhan larva. Namun, jika
sekresi hormon ini berkurang maka ekdison akan merangsang perkembangan
pupa.
Oleh karena itu, untuk mengetahui lebih
lanjut mengenai hormon-hormon yang berperan mengkordinasikan kegiatan dalam
tubuh hewan invertebrata khususnya insekta maka dibuatlah makalah ini.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah
bagaimanakah fisiologi sistem endokrin pada hewan-hewan dalam classis insekta ?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah
untuk mengetahui lebih lanjut mengenai fisiologi sistem endokrin pada classis
insekta.
D. Manfaat Peulisan
Penulisan makalah yang dilakukan ini
diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1.
Untuk mengembangkan wawasan ilmu dan mendukung
teori-teori yang sudah ada yang berkaitan dengan bidang kependidikan.
2.
Untuk melatih dan mengembangkan kemampuan dan
keterampilan yang dimiliki penulis
dalam menulis karya-karya ilmiah yang berhubungan dengan program studi yang
ditekuni.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tinjauan Umum
Hampir semua hormon
dihasilkan sel neurosekresi dari ganglion otak dan ganglia lainnya yang dapat
ditemukan pada protoserebrum, tritoserebrum, ganglion suboesofagus dan ganglia
ventral. Hewan ini diketahui juga menghasilkan sejumlah hormon yaitu :
1.
Hormon
otak
Hormon
otak disekresikan oleh bagian otak yang pelepasannya dipengaruhi
oleh faktor makanan, cahaya, atau suhu. Adanya hormon otak
menyebabkan sekresi hormone ekdison. Selain itu, hormone otak juga memicu
mensekresikan hormone juvenil.
2.
Juvenil hormone (JH)
Hormon ini dijumpai
hampir pada semua artropoda dan krustasea. JH dipergunakan untuk mempertahankan
stadium muda, sehingga apabila dalam suatu instar pradewasa dijumpai titer JH
yang sangat rendah, artinya stadium larvanya menjelang selesai.
JH merupakan suatu
senyawa steroid dengan gugus epoksida disalah satu ujungnya. Dikenal beberapa
bentuk/macam JH, misalnya JH diol, hidro JH, metil JH, iso JH dll. Ini
disebabkan karena beberapa ujung merupakan gugus yang reaktif, sehingga dalam
lingkungan berbeda akan mengikat senyawa lain yang berbeda pula. Sementara itu,
meski pada akhir instar pradewasa JH bisa nol sama sekali, tetapi pada stadium dewasa,
JH juga kembali disintesis, dan digunakan untuk memberi tanda pada badan lemak
bahwa saatnya telah tiba untuk menyusunvitellogenin, suatu senyawa kimia
yang merupakan penanda dimulainya proses pemasakan telur, misalnya seperti yang
dijumpai pada nyamuk.
Bioassay JH dilakukan
antara lain dengan teknik RIA atau Radioimmunoassay, menggunakan vertebrata
seperti misalnya tikus, ayam atau kelinci. Hewan-hewan tersebut disuntik dengan
ekstrak JH dalam bentuk preparasi yang sesuai, maka akan terbentuklah antibody
dalam tubuh hewan percobaan (donor antibodi). Antibodi ini spesifik untuk JH
(antibodi anti JH), kemudian diisolasi. Anti JH ini dapat diberi label dengan
isotop, kemudian digunakan untuk assay dalam hemolimfa serangga. Perhitungannya
adalah dengan menghitung nisbah antara antibodi berlabel yang masih bebas
dengan antibodi yang sudah mengikat JH, dengan menggunakan alat LSC (Liquid
Scintillation Counter), [JH] dapat dihitung.
Cara kedua adalah dengan
menggunakan HPLC (high pressureliquid chromatography). JH yang ada dalam
hemolimf di ekstrak dengan pelarut organik (heksan-eter). Fase organiknya lalu
dipartisi cair/cair (karena JH adalah lipid--steroid--, maka akan terlarut pada
fasa organik). Setelah pemurnian lewat partisi kemudian disuntikkan ke HPLC.
Keunggulan cara ini adalah bahwa sampel ekstrak masih tetap utuh karena tidak
diuapkan (berbeda dengan GLC yang menggunakan sampel fase gas).
3.
Ecdysone
Carroll Williams, tahun 1940an,
menggunakan larva ngengat Saturniidae (Hyalophora cecropia dan Antherya
pernyii). Penelitiannya menghasilkan hormon yang akhirnya teridentifikasi
secara lengkap (ecdyson, suatu hormon molting). Temuan juga menunjukkan
hubungan antara perubahan suhu dengan kondisi otak yang selanjutnya akan muncul
dalam ujud diapause saat pupa, atau akan terus berkembang sehingga stadium pupa
tidak mengalami diapause (Diapause Obligat, dan Diapause Fakultatif).
Ecdyson adalah suatu sterol yang biosintesisnya berasal dari
kholesterol, maka dibutuhkan makanan yang cukup mengandung kholesterol supaya
serangga dapat memiliki cukup ecdyson. Sementara itu pada tumbuhan sendiri
dijumpai bentukan lanjut sterol yang sangat mirip ecdyson dan disebut
sebagai "phytoecdyson".Bahan ini bekerjanya tidak
spesifik, karena ternyata dapat digunakan oleh banyak jenis artropoda. Ecdysone
dipergunakan untuk merangsang perubahan atau pergantian kulit serangga. Hormon
ini bekerja antagonis dengan JH.
B.
Hubungan antara Ecdyson dan
JH dalam mengatur metamorfosis
Pengaturan proses metamorfose merupakan mekanisme hormonal yang
cukup rumit dan melibatkan beberapa organ secara serentak. Pada mulanya,
apabila saat ganti kulit tiba, maka korpora kardiaka pada otak mengeluarkan
suatu hormon tropik (hormon yang mengawali keluarnya hormon lain) ke protoraks, sehingga hormonnya disebut hormon protorakotropik.
Oleh adanya HPTT (PTTH, prothoracotropic hormone) ini, maka kelenjar protoraks akan mengeluarkan hormon à-ecdyson,
karena aktivasi utusan kedua ("second messenger") AMP siklik (cAMP)
yang menyebabkan dilepaskannya hormon. à-ecdyson ini kemudian akan mengaktivasi
á-ecdyson, dan selanjutnya á-ecdyson menuju ke suatu reseptor protein yang
berada pada integumen, dan kemudian terikat ("bound") pada reseptor
tersebut. Ikatan ini menandai dimulainya sintesis protein untuk menyusun
kutikula baru dan pada prosesnya menyebabkan kutikula baru dan lama saling
terpisah (apolisis).
Pada waktu yang bersamaan
dengan aktivasi oleh HPTT, korpora
alata yang terdapat di perbatasan
antara protoraks dan otak juga mulai mengeluarkan hormon yuwana (JH). Titer JH
ini menentukan jenis kutikula apa yang akan disusun oleh bagian integumen.
Apabila titer JH masih cukup tinggi, yang dibentuk adalah kutikula instar
berikutnya. Ekskresi JH dari satu instar ke instar berikutnya makin rendah, dan
pada batas titer tertentu menyebabkan yang disusun adalah kutikula pupa. Pada
pupa, titer JH sudah sama dengan nol, sehingga jika kemudian terjadi pergantian
kulit lagi, maka yang muncul adalah kulit serangga dewasa. Demikian yang
terjadi pada ekdisis sebagai urutan kedua proses ganti kulit atau molting:
kutikula lama mengelupas.
C.
Mekanisme Kerja Hormon
pada Insekta
1.
Biosintesis hormon ekdison
Sintesis
ekdisteroid pada serangga sangat tergantung dari steroid yang terdapat
dalam tanaman yang menjadi sumber pakannya. Hal tersebut dikarenakan
serangga tidak dapat mensintesis sendiri kolesterol yang merupakan
precursor primer untuk mensintesis ekdison.
Fitosteroid yang
terdapat pada tanaman inang serangga merupakan jenis triterpenoid, cycloartenol yang
terbentuk dari siklisasi epoksida skualen. Derivasi dari cycloartenol
adalah kolesterol yang menjadi precursor ekdison pada serangga.
Serangga pemakan
tanaman (fitofag) akan merubah sterol tanaman C29 menjadi sterol C27 yang
menjadi precursor ekdison. Selanjutnya sterol C27 tersebut dirubah
menjadi kolesterol dan kemudian menjadi 7-dehidrokolesterol, yang menjadi
perkursor 3β,14α-dihidroksi-5β-kolest-7-en-6-one. Biosintesis ekdison secara
skematik terlihat pada gambar 2 dan bentuk strukturnya terlihat pada gambar di
bawah ini.
Sintesis hormon ekdison
ditriger oleh hormon protorakisotrofik (PTTH) yang dihasilkan oleh sel
neurosekretori otak. Hormon ini tidak disimpan di dalam kelenjar
protoraks, tetapi akan segera dilepaskan setelah disintesis. PTTH yang
berfungsi sebagai triger sintesis hormon ekdison ini efeknya bersifat
modulasi melalui penghambatan hormon (inhibitory hormone) dan
melalui regulasi langsung syaraf (direct neural regulation) yang
mungkin dalam bentuk stimulasi (stimulatory) atau penghambatan (inhibitory).
Pada gambar 4 terlihat mode of ection PTTH yang mentriger
sintesis hormon ekdison pada satu sel kelenjar protorak.
Pembuktian bahwa
sintesis ekdison ditriger oleh PTTH telah dilakukan oleh Carroll Willaims
(1947) menggunakan metode ligasi dan implantasi pada Hyalophora
cecropia. Dia menunjukkan bahwa ketika otak aktif, pupa yang
diikat pada bagian tengah tubuhnya, bagian depannya akan ganti kulit
menjadi imago normal sedangkan bagian belakangnya tidak. Dia
kemudian menemukan alasannya bahwa bagian depan tersebut dapat ganti kulit
dan menjadi imago normal hanya jika otak dan kelenjar protoraknya masih
aktif. Kesimpulannya bahwa hormon dari otak akan menstimulasi kelenjar
protorak untuk mengsekresikan hormon yang menginduksi proses ganti kulit.
Sintesis ekdison terjadi
pada kelenjar protoraks, yang kemudian disekresikan ke dalam hemolimfa.
Ekdison merupakan substansi yang tidak larut dalam air dan diduga ditransportasikan
di dalam hemolimfa dengan cara terikat pada molekul protein. Dari
hemolimfa ekdison ini akan dirubah oleh badan lemak, epidermis, saluran
pencernaan tengah (midgut) atau jaringan lainnya menjadi ekdison
yang lebih aktif yaitu 20-hidroksiekdison. Apabila 20-hidroksiekdison
tidak terpakai maka di dalam tabung malpigi berubah menjadi bahan yang
akan disekresikan. Variasi hormon ekdison yang bersirkulasi di dalam
hemolimfa dapat terukur karena ada perubahan di dalam sintesis,
pelepasan, degradasi dan ekskresi. Produksi 20-hidroksiekdison akan
diimbangi oleh degradasi dan ekskresi serta konversi dalam bentuk
konyugat yang sifatnya tidak aktif. Oleh karena itu periode hormon bentuk
aktif di dalam hemolimf sangat terbatas. Konyugat ekdisteroid sering
dalam bentuk fosfat atau glukosida.
2.
Kelenjar protorak
Kelenjar protoraks yang
merupakan tempat disintesisnya hormon ekdison dijumpai pada stadium
pradewasa serangga. Pada serangga dewasa hormon ini terdapat pada ovari
yang kaitannya dalam mengatur perkembangan embrionik, walaupun hormon
tersebut dapat dihasilkan dimana-mana di abdomen yang diduga berasal dari
oenosit. Kelenjar protoraks ini degenerasi saat serangga bermetamorfose
menjadi imago, walaupun ada yang tetap bertahan, misalnya pada serangga
Apterygota dan lokusta yang hidupnya soliter.
Kelenjar protoraks
adalah sepasang kelenjar yang berbentuk butiran butiran seperti anggur,
terletak di belakang kepala atau pada toraks serangga, atau pada pangkal
labium Thysanura (Gambar dibawah ini). Kelenjar ini banyak disuplai oleh
sel syaraf dan trakhe. Syaraf-syaraf ini berasal dari ganglion
subesophageal atau beberapa dari ganglion protoraks, pada lipas ada
hubungan syaraf yang berasal dari otak, sedang pada serangga Hemiptera
tidak ada suplai syaraf sama sekali.
3.
Mode of action hormon ekdison
Hormon ekdison akan
disintesis pada saat serangga pra dewasa akan ganti kulit atau dalam
proses pertumbuhan. Cara kerja hormon ini berkaitan langsung dengan dua
hormon lainnya yaitu: PTTH (prothoracicotropic hormone) dan hormon
juvenil (JH). Keberadaan JH akan menghambat produksi hormon ekdison
dan dengan stimulasi dari PTTH makan hormon ekdison akan disintesis,
tetapi akibat dari kelimpahan hormon ekdison dalam hemolimfa, kemudian
akan menghambat produksi hormon juvenil (JH).
Secara umum aktifitas biokimia yang
terjadi diantara sel sangat tergantung dari adanya reseptor spesifik
untuk kerja hormon tersebut. Respon dari jaringan yang berbeda tergantung
pada ada atau tidaknya reseptor spesifik tersebut, sehingga jaringan yang
berbeda akan memberi respon pada waktu yang berbeda pula. Apabila hormon
tersebut tidak bertemu dengan reseptor spesifik pada waktu yang tepat,
maka dengan segera akan didegradasi dalam hemolimfa.
Sel target dari kerja
ekdisteroid adalah sel epidermis pada proses ganti kulit (molt).
Karena ekdisteroid merupakan bahan lipofilik, maka bahan tersebut dapat
melewati membran sel apabila terikat pada reseptor protein spesifik di
dalam sel epidermis. Ekdisteroid ini kemudian secara langsung akan
mengaktivasi atau menginaktivasi gen dan sintesis protein baru.
Konsentrasi hormon ekdison pada hemolimfa sangat menentukan
apakah akan dapat mempengaruhi sel target atau tidak. Hal itu tergantung
dari konsentrasi reseptor yang ada pada sel target tersebut.
D.
Proses ganti kulit serangga (molting)
Pada proses pertumbuhan
serangga kutikula akan berhenti membesar karena dibatasi oleh berakhirnya
pengerasan kutikula yaitu melalui proses sklerotisasi. Dengan demikian
kutikula yang mengeras tersebut perlu dilepaskan dan digantikan dengan
yang baru. Proses pelepasan kulit ini disebut dengan ekdisis.
Proses ganti kulit sebenarnya terdiri dari proses apolisis dan
proses ekdisis yang berakhir dengan terbentuknya instar
pasca ekdisis (gambar di bawah ini).
Proses apolisis
melibatkan terjadinya pemisahan lapisan epidermis dari kutikula secara
bertahap mulai dari bagian anterior menuju posterior. Proses ini
dimediasi oleh molekul 20-hidroksi ekdison. Proses ini terjadi mulai saat
instar melepaskan kutikula pada stadium pharate. Saat lepas
dari kutikula epidermis mulai melakukan pembelahan mitosis, sehingga
permukaan epidermis menjadi luas yang akan menjadi cetakan kutikula yang
lebih meluas/besar.
Proses ekdisis adalah
kejadian pelepasan kutikula tua (eksuvia) yang sebenarnya dan dimediasi
oleh hormon eksklosi. Proses ganti kulit terdiri dari beberapa tahap
sebagai berikut:
1.
Awal apolisis sepanjang anteroposterior
secara bertahap
Proses apolisis ini dimulai segera setelah
terjadinya pengerasan kutikula. Pada periode aktif makan setelah
terjadinya ekdisis, kerapatan cel menurun, kutikula di atas sel epidermis
meregang dan sel epidermis menjadi bentuk squamose (pipih).
2.
Pembelahan mitosis sel-sel epidermis (terjadi
pertambahan sel dan pelipatan permukaan lapisan epidermis).
Pembelahan mitosis mulai
terjadi, jumlah sel bertambah dan meningkat tajam serta diikuti dengan
bentuk sel menjadi kolumner. Karena sel bentuknya berubah, mengakibatkan
terjadinya tegangan permukaan epidermis sehingga sel epidermis mulai
terpisah dari kutikula. Mitosis epidermal ini mendahului selesainya
apolisis. Pemisahan kutikula diatasnya epidermis ini disebut proses
apolisis. Ruang apolisis yang dibentuk antara epidermis dan
kutikula disebut rongga eksuvial atau rongga subkutikuler. Pada
Collembola bagian membran luar dari sel epidermis mengeluarkan
vesikel-vesikel membentuk busa sehingga mendorong lapisan kutikula terlepas
dari epidermis. Lepasnya droplet ke dalam rongga ini dengan cara eksositosis
plasma membran.
3.
Sekresi cairan molting
Droplet tersebut diduga prekursor enzim moulting
yang masih tidak aktif. Pada beberapa spesies enzim moulting disekresikan
ke dalam ruang eksuvial setelah selesai proses apolisis. Enzim ini ada
yang disekresikan dalam bentuk granule dan pada beberapa
Lepidoptera dikeluarkan dalam bentuk gel. Ruang apolisis
berangsur angsur menjadi besar karena adanya akumulasi enzim atau cairan
moulting. Enzim pencerna kutikula ini terdiri dari enzim khitinase,
protease menyerupai tripsin dan aminopeptidase. Enzim ini masih tetap
belum aktif sebelum selesainya pembentukan lapisan luar epikutikula dari
kutikula baru.
4. Formasi epikutikula
luar pharate pada permukaan epidermis yang telah mengalami apolisis dan
crenulat, yang akan menghasilkan patokan pola permukaan kutikula pharate.
5. Sekresi epikutikula saat
serangga dalam keadaan pharate.
6. Aktivasi enzim cairan
molting, terjadi proses lisis endokutikula dan terjadi penyerapan
(resorpsi) endokutikula lama.
Aktivasi enzim dihubungkan dengan
terjadinya transport potassium ke dalam ruang eksuvial disertai dengan
aliran air. Cairan ini disebut cairan moulting dan mengandung komposisi
ion sebagai buffer enzim yang mengatur pH selama pencernaan kutikula.
Enzim tersebut akan mencerna seluruh lapisan kutikula yang tidak
tersklerotisasi tetapi tidak ada pengaruhnya terhadap otot-otot atau
syaraf yang berhubungan dengan kutikula lama. Produk kutikula yang
tercerna ini diabsorbsi melalui mulut atau anus dan mungkin juga secara
langsung melalui integumen itu sendiri.
7.
Deposisi calon eksokutikula pharate
Deposisi kutikula baru berangsur-angsur
bertambah seiring dengan pencernaan dan penyerapan kembali kutikula
lama. Keadaan ini dapat mengkonservasi 90% kutikula lama.
8.
Ekdisis
Saat cairan
molting dan hasil cernaannya diresorbsi, kutikula lama makin menipis dan
lama kelamaan habis dan meninggalkan epikutikula dan eksokutikula lama
yang terpisah dari prokutikula baru. Rongga apolisis jelas terpisah dan
serangga mulai melakukan aktivitas ekdisis. Ekdisi diawali dengan
pecahnya garis ekdisis yang dapat dilakukan dengan berbagai cara. PadaSchistocerca atau
serangga lainnya, terjadi peningkatan volume darah. Persiapan ekdisis
diawali dengan menelan udara atau air, kemudian ditelan ke dalam usus
sehingga tekanan hemolimf meningkat. Darah dipompa ke bagian toraks atau
kepala dan memecahkan bagian integumen yang tipis atau lemah. Ekdisis
biasanya dimulai dari kepala atau toraks dahulu kemudian diikuti oleh
abdomen dan embelannya.
9.
Ekspansi kutikula baru
Setelah selesai ekdisis, instar baru akan
mengawali aktivitas makan dan mulai mengawali siklus apolisis dikuti
ekdisis. Kutikula baru yang masih lentur akan mengembang sejalan dengan
pertumbuhan dan perbesaran tubuhnya. Ekspansi kutikula akan diikuti
proses tanning dan akan terhenti hingga kutikula mengeras dan segera akan
melakukan moulting berikutnya.
10. Permulaan tanning
Enzim fenol oksidase terlibat dalam proses
tanning kutikula. Enzim ini pada awalnya berada di dalam hemolimf dalam
bentuk proenzim tidak aktif, kemudian diaktivasi oleh enzim yang berasal
dari ekstrak kutikula. Ada tiga jenis enzim profenol oksidase. Dua enzim
yang mengoksidasi L-dopa yaitu dopa oksidase dan satu enzim yang
mengoksidasi dihidroksifenilalanin (dopa) maupun tirosin (tirosin adalah
substrat awal dalam tanifikasi). Struktur protein dan enzim pada kutikula
berpartisipasi dalam proses tanning yang disebut sklerotisasi. Proses
ini melibatkan hidroksilasi tirosin menjadi dihidroksifenilalanin (DOPA)
yang didekarboksilasi menjadi dopamine dengan perantara
dopa-dekarboksilase. Dopamin kembali diasetilasi membentuk
N-asetildopamin. Melalui system fenolase N-asetildopamin dioksidasi
menjadi o-Quinon yang bereaksi dengan kelompok amino di dalam protein
kutikula.
11. Sekresi
endokutikula
12. Sekresi lilin
13. Lanjutan deposisi
dan tanifikasi endokutikula
14. Formasi membran apolisis
untuk molting berikutnya.
Urutan kejadian dalam pengaturan proses apolisi dan
pembentukan kutikula adalah sebagai berikut:
1.
PTTH (prothoracicotropic hormone) akan merangsang
kelenjar protorak untuk mensintesis dan melepaskan hormon ekdison,
2.
Hormon ekdison beredar di dalam hemolimfa,
3.
Hormon ekdison akan mengalami hidroksilasi pada jaringan
tubuh menjadi 20-hidroksiekdison,
4.
20-hidroksiekdison mengatur gen yang akan membentuk
kutikula.
5.
Hormon pemicu ekdisis (ecdysis trigerring hormone,
ETH) merangsang pelepasan hormon eklosi (eclosion hormone, EH)
dari otak,ETH juga akan mengaktifkan perilaku pre-eklosi,
6.
Simpul umpan-balik positif antara ETH dan EH mengakibatkan
pelepasan EH dalam jumlah besar,
7.
Pelepasan EH terpusat merangsang pelepasan Crustacean
cardioactive peptide (CCAP) dari neuron pada ganglion ventral, EH
yang bekerja melalui hemolimfa mengakibatkan pengenyalan kutikula
8.
CCAP mengaktifkan perilaku eklosi dan menghentikan perilaku
pre-eklosiCCAP yang bekerja melalui hemolimfa meningkatkan denyut
jantung,
9.
Bursikon mula-mula merangsang pengenyalan kutikula, kemudian
mengaktifkan proses sklerotisasi kutikula.
Urutan proses ganti kulit tersebut di atas dapat digambarkan
seperti pada gambar berikut:
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kesimpulan makalah ini antara lain :
1.
Sistem endokrin terdiri dari sekelompok
organ (kadang disebut sebagai kelenjar sekresi internal), yang fungsi
utamanya adalah menghasilkan dan melepaskan hormon-hormon secara langsung ke
dalam aliran darah. Hormon berperan sebagai pembawa pesan untuk mengkoordinasikan
kegiatan berbagai organ tubuh. Berbagai makhluk hidup mempunyai hormon
untuk mengkoordinasikan kegiatan dalam tubuhnya, seperti pada insecta.
2.
JH (Juvenil Hromon) merupakan hormon
yang mempunyai banyak peranan dalam mengatur proses-proses fisiologi serangga.
JH mempunyai beberapa peranan yang besar terutama dalam mengontrol pertumbuhan
dan perkembangan serangga.
3.
Pengaturan proses metamorfose merupakan
mekanisme hormonal yang cukup rumit dan melibatkan beberapa organ secara
serentak. Pada mulanya, apabila saat ganti kulit tiba, maka korpora kardiaka
pada otak mengeluarkan suatu hormon tropik ke protoraks yang disebut hormon protorakotropik.
B.
Saran
Saran untuk makalah ini, agar dapat
dimanfatkan dengan sebaik-baiknya dan agar para pembaca melakukan lagi kajian-kajian
mengenai hormon pada insecta.
DAFTAR
PUSTAKA
Bede, J. C dan
S.S. Tobe. 2000. Activity of insect juvenile hormon III: seed germination dan
seedling growth studies. Chemoecology Vol. 10 (2000) : 89–97
Bede, J. C,
Peter E.A. Teal, Walter G. Goodman, dan Stephen S. Tobe. 2001. Biosynthetic
Pathway of Insect Juvenile Hormon III in Cell Suspension Cultures of the Sedge Cyperus iria. Plant Physiology,
October 2001, Vol. 127, pp. 584–593,
Caroci, A.S., Y.
Li., F. G. Noriega. Reduced juvenile hormone synthesis in mosquitoes with low
teneral reserves reduces ovarian previtellogenic development in Aedes aegypti. The Journal of Experimental Biology 207 : 2685-2690
Diana E. Wheeler
dan H. F. Nijhout. A perspective for understdaning the modes of juvenile hormon
action as a lipid signaling system. BioEssays 25:994–1001, 2003.
Elekonich, M.M
dan G.E. Robinson. 2000. Organizational and activational effects of hormones on
insect behavior. Journal of Insect Physiology 46(2000) : 1509–1515
Emlen, D.J dan H.F.
Nijhout. 1999. Hormonal control of male horn length dimorphism in the dung
beetle Onthophagus taurus (Coleoptera: Scarabaeidae). Journal of Insect Physiology 45
(1999) : 45–53
Emlen, D.J dan
H.F. Nijhout. 1999. The Development Dan Evolution Of Exaggerated Morphologies
In Insects. Annu. Rev. Entomol. 2000. 45:661–708.
Gilbert LI, R
Rybczynski, S Tobe. 1996. Endocrine cascade in insect metamorphosis. In LI
Gilbert, J Tata, P Atkison, eds. Metamorphosis: post-embryonic reprogramming of
gene expression in amphibian dan insect cells.San Diego: Academic Press, pp
59-107.
Kou, R. dan S.J
Chen. 2000. Allatotropic dan nervous control of corpora allata in the adult
male loreyi leafworm, Mythimna loreyi (Lepidoptera: Noctuidae). Physiol.
Entomol. 25 : 273-280.
Li, S., Y.C.
Ouyang, E. Ostrowski, D.W. Borst. 2005. Allatotropin regulation of juvenile
hormone synthesis by the corpora allata from the lubber grasshopper, Romalea microptera. Peptides 26 (2005) 63–72
Lorenz, M.W.,
K.H.Hoffmann, G.G.de. 1999. Juvenile hormone biosynthesis in larval and adult
stick insects, Carausius morosus. Journal of Insect Physiology 45 (1999) : 443–452
Martinez, S. H,
J. G. Mayoral, Y. Li, F. G. Noriega. 2007. Role of juvenile hormon dan
allatotropin on nutrient allocation, ovarian development dan survivorship in
mosquitoes. Journal of Insect Physiology 53 (2007) : 230–234
Moczek, P.A.,
dan H.F. Nijhout. 2003. Developmental mechanisms of threshold evolution in a
polyphenic beetle. Evolution and Development 4 :252-264.
Nijhout, H.F. 2003.
The control of body size in insects. Developmental Biology 261 (2003) : 1–9
Robinson, G.E
dan E. L. Vargo. 1997. Juvenile Hormone in Adult Eusocial Hymenoptera:
Gonadotropin and Behavioral Pacemaker. Insect Biochemistry and Physiology 35:559–583
Sen, S.E., A.E.
Sperry, M. Childress, D.E. Hannemann. 2003. Juvenile hormon biosynthesis in
moths: synthesis dan evaluation of farnesol homologs as alternate substrates of
farnesol oxidase. Insect Biochemistry dan Molecular Biology 33 (2003) 601–607
Shelby, J.A, R.
Madewell, A.P. Moczek. 2007. Juvenile Hormone Mediates Sexual Dimorphism in
Horned Beetles. J. Exp. Zool. (Mol. Dev. Evol.) DOI 10.1002/jez. : 1-11
Smith SL. 1985.
Regulation of ecdysteroid titre: synthesis. In GA Kerkut, LI Gilbert, eds. Comprehensive insect
physiology, biochemistry dan pharmacology. Vol 8.Oxford: Pergamon
Press, pp 295-341.
Verma, K.K.
2007. Polyphenism in insects and the juvenile hormone. J. Biosci. 32(2)
(2007) : 415–420.
Wyatt GR, Davey
KG. Cellular dan molecular actions of juvenile hormon.2. Roles of juvenile
hormon in adult insects. Adv Insect Physiol 1996;26:1–155.
Assalamualaikum..
BalasHapusMba saya bergerak di bidang pertanian, saya ingin banyak konsultasi mengenai seluk beluk serangga, sepertinya mba banyak tau, untuk konsultasi bisa via apa ya mba?
Ini email saya cahyantoantho281@gmail.com
Jika berkenan bisa balas ke email sya t3rsebut...trims ya mna
Terimakasih, infonya sangat membantu😊
BalasHapus