Jumat, 02 Januari 2015

Makalah Fisiologi Hewan Endokrin Insekta


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Pengaturan beberapa proses fisiologis melibatkan kerjasama struktural dan fungsional antara sistem endokrin dan sisem saraf. Banyak organ dan jaringan endokrin memiliki sel-sel saraf khusus, yang disebut sel-sel neurosekresi yang mensekresikan hormon. Bahkan hewan yang sangat berbeda seperti serangga dan vertebrata mempunyai sel-sel neurosekresi dalam otaknya yang mensekresikan hormon kedalam darah. Beberapa zat kimia mempunyai fungsi baik sebagai sistem hormon endokrin maupun sebagai sinyal dalam system saraf. Epinefrin (dikenal pula sebagai adrenalin), misalnya, berfungsi dalam tubuh vertebrata sebagai apa yang disebut hormon “fight or flight” (yang dihasilkan oleh medulla adrenal, suatu kelenjar endokrin) dan sebagai neurotransmitter yang mengirimkan pesan antara tiap neuron dalam sistem saraf.
Sistem endokrin adalah sistem kontrol kelenjar tanpa saluran (duictless) yang menghasilkan hormon yang tersirkulasi di tubuh melalui aliran darah untuk memengaruhi organ-organ lain. Hormon bertindak sebagai "pembawa pesan" dan dibawa oleh aliran darah ke berbagai sel dalam tubuh, yang selanjutnya akan menerjemahkan pesan tersebut menjadi suatu tindakan. Sistem endokrin tidak memasukkan kelenjar eksokrin seperti kelenjar ludah, kelenjar keringat, dan kelenjar-kelenjar lain dalam saluran gastroinstestin. Sistem endokrin terdiri dari sekelompok organ (kadang disebut sebagai kelenjar sekresi internal), yang fungsi utamanya adalah menghasilkan dan melepaskan hormon-hormon secara langsung ke dalam aliran darah. Hormon berperan sebagai pembawa pesan untuk mengkoordinasikan kegiatan berbagai organ tubuh. Berbagai makhluk hidup mempunyai hormon untuk mengkoordinasikan kegiatan dalam tubuhnya.
Pada insekta kelenjar endokrin lebih banyak digunakan untuk proses pertumbuhan dan metamorfosis. Selama masa pertumbuhan, serangga akan menanggalkan eksoskeletonnya secara berkala. Proses pergantian kulit ini disebut molting. Molting terjadi sampai stadium dewasa. Hormon yang menyebabkan terjadinya molting adalah hormon ekdison. Hormon ini dihasilkan dari kerja sama kelenjar protorasik yang terletak di dalam dada dan hormon yang dihasilkan oleh otak. Otak serangga juga menghasilkan hormon yang mempengaruhi proses metamorfosis, yaitu hormon juvenil. Hormon ini berfungsi menghambat proses metamorfosis. Sekresi hormon juvenil yang cukup akan membuat ekdison merangsang pertumbuhan larva. Namun, jika sekresi hormon ini berkurang maka ekdison akan merangsang perkembangan pupa. 
Oleh karena itu, untuk mengetahui lebih lanjut mengenai hormon-hormon yang berperan mengkordinasikan kegiatan dalam tubuh hewan invertebrata khususnya insekta maka dibuatlah makalah ini.
B.       Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah bagaimanakah fisiologi sistem endokrin pada hewan-hewan dalam classis insekta ?
C.      Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui lebih lanjut mengenai fisiologi sistem endokrin pada classis insekta.
D.      Manfaat Peulisan
Penulisan makalah yang dilakukan ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1.        Untuk mengembangkan wawasan ilmu dan mendukung teori-teori yang sudah ada yang berkaitan dengan bidang kependidikan.
2.        Untuk melatih dan mengembangkan kemampuan dan keterampilan yang dimiliki penulis dalam menulis karya-karya ilmiah yang berhubungan dengan program studi yang ditekuni.


















BAB II
PEMBAHASAN

A.      Tinjauan Umum
Hampir semua hormon dihasilkan sel neurosekresi dari ganglion otak dan ganglia lainnya yang dapat ditemukan pada protoserebrum, tritoserebrum, ganglion suboesofagus dan ganglia ventral. Hewan ini diketahui juga menghasilkan sejumlah hormon yaitu :
1.        Hormon otak
Hormon otak disekresikan oleh bagian otak yang pelepasannya dipengaruhi oleh  faktor makanan, cahaya, atau suhu. Adanya hormon otak menyebabkan sekresi hormone ekdison. Selain itu, hormone otak juga memicu mensekresikan hormone juvenil.
2.         Juvenil hormone (JH)
Hormon ini dijumpai hampir pada semua artropoda dan krustasea. JH dipergunakan untuk mempertahankan stadium muda, sehingga apabila dalam suatu instar pradewasa dijumpai titer JH yang sangat rendah, artinya stadium larvanya menjelang selesai.
JH merupakan suatu senyawa steroid dengan gugus epoksida disalah satu ujungnya. Dikenal beberapa bentuk/macam JH, misalnya JH diol, hidro JH, metil JH, iso JH dll. Ini disebabkan karena beberapa ujung merupakan gugus yang reaktif, sehingga dalam lingkungan berbeda akan mengikat senyawa lain yang berbeda pula. Sementara itu, meski pada akhir instar pradewasa JH bisa nol sama sekali, tetapi pada stadium dewasa, JH juga kembali disintesis, dan digunakan untuk memberi tanda pada badan lemak bahwa saatnya telah tiba untuk menyusunvitellogenin, suatu senyawa kimia yang merupakan penanda dimulainya proses pemasakan telur, misalnya seperti yang dijumpai pada nyamuk.
Bioassay JH dilakukan antara lain dengan teknik RIA atau Radioimmunoassay, menggunakan vertebrata seperti misalnya tikus, ayam atau kelinci. Hewan-hewan tersebut disuntik dengan ekstrak JH dalam bentuk preparasi yang sesuai, maka akan terbentuklah antibody dalam tubuh hewan percobaan (donor antibodi). Antibodi ini spesifik untuk JH (antibodi anti JH), kemudian diisolasi. Anti JH ini dapat diberi label dengan isotop, kemudian digunakan untuk assay dalam hemolimfa serangga. Perhitungannya adalah dengan menghitung nisbah antara antibodi berlabel yang masih bebas dengan antibodi yang sudah mengikat JH, dengan menggunakan alat LSC (Liquid Scintillation Counter), [JH] dapat dihitung.
Cara kedua adalah dengan menggunakan HPLC (high pressureliquid chromatography). JH yang ada dalam hemolimf di ekstrak dengan pelarut organik (heksan-eter). Fase organiknya lalu dipartisi cair/cair (karena JH adalah lipid--steroid--, maka akan terlarut pada fasa organik). Setelah pemurnian lewat partisi kemudian disuntikkan ke HPLC. Keunggulan cara ini adalah bahwa sampel ekstrak masih tetap utuh karena tidak diuapkan (berbeda dengan GLC yang menggunakan sampel fase gas).


3.         Ecdysone
Carroll Williams, tahun 1940an, menggunakan larva ngengat Saturniidae (Hyalophora cecropia dan Antherya pernyii). Penelitiannya menghasilkan hormon yang akhirnya teridentifikasi secara lengkap (ecdyson, suatu hormon molting). Temuan juga menunjukkan hubungan antara perubahan suhu dengan kondisi otak yang selanjutnya akan muncul dalam ujud diapause saat pupa, atau akan terus berkembang sehingga stadium pupa tidak mengalami diapause (Diapause Obligat, dan Diapause Fakultatif).
Ecdyson adalah suatu sterol yang biosintesisnya berasal dari kholesterol, maka dibutuhkan makanan yang cukup mengandung kholesterol supaya serangga dapat memiliki cukup ecdyson. Sementara itu pada tumbuhan sendiri dijumpai bentukan lanjut sterol yang sangat mirip ecdyson dan disebut sebagai "phytoecdyson".Bahan ini bekerjanya tidak spesifik, karena ternyata dapat digunakan oleh banyak jenis artropoda. Ecdysone dipergunakan untuk merangsang perubahan atau pergantian kulit serangga. Hormon ini bekerja antagonis dengan JH.
B.       Hubungan antara Ecdyson dan JH dalam mengatur metamorfosis
Pengaturan proses metamorfose merupakan mekanisme hormonal yang cukup rumit dan melibatkan beberapa organ secara serentak. Pada mulanya, apabila saat ganti kulit tiba, maka korpora kardiaka pada otak mengeluarkan suatu hormon tropik (hormon yang mengawali keluarnya hormon lain) ke protoraks, sehingga hormonnya disebut hormon protorakotropik.
Oleh adanya HPTT (PTTH, prothoracotropic hormone) ini, maka kelenjar protoraks akan mengeluarkan hormon à-ecdyson, karena aktivasi utusan kedua ("second messenger") AMP siklik (cAMP) yang menyebabkan dilepaskannya hormon. à-ecdyson ini kemudian akan mengaktivasi á-ecdyson, dan selanjutnya á-ecdyson menuju ke suatu reseptor protein yang berada pada integumen, dan kemudian terikat ("bound") pada reseptor tersebut. Ikatan ini menandai dimulainya sintesis protein untuk menyusun kutikula baru dan pada prosesnya menyebabkan kutikula baru dan lama saling terpisah (apolisis).
Pada waktu yang bersamaan dengan aktivasi oleh HPTT, korpora alata yang terdapat di perbatasan antara protoraks dan otak juga mulai mengeluarkan hormon yuwana (JH). Titer JH ini menentukan jenis kutikula apa yang akan disusun oleh bagian integumen. Apabila titer JH masih cukup tinggi, yang dibentuk adalah kutikula instar berikutnya. Ekskresi JH dari satu instar ke instar berikutnya makin rendah, dan pada batas titer tertentu menyebabkan yang disusun adalah kutikula pupa. Pada pupa, titer JH sudah sama dengan nol, sehingga jika kemudian terjadi pergantian kulit lagi, maka yang muncul adalah kulit serangga dewasa. Demikian yang terjadi pada ekdisis sebagai urutan kedua proses ganti kulit atau molting: kutikula lama mengelupas.
C.      Mekanisme Kerja Hormon pada Insekta
1.        Biosintesis  hormon ekdison
Sintesis  ekdisteroid pada serangga sangat tergantung dari steroid yang terdapat dalam  tanaman yang menjadi sumber pakannya. Hal tersebut dikarenakan serangga tidak  dapat mensintesis sendiri kolesterol yang merupakan precursor primer untuk  mensintesis ekdison.
Fitosteroid yang  terdapat pada tanaman inang serangga merupakan jenis triterpenoid, cycloartenol yang terbentuk dari siklisasi epoksida skualen. Derivasi dari cycloartenol  adalah kolesterol yang menjadi precursor ekdison pada serangga.
Serangga pemakan  tanaman (fitofag) akan merubah sterol tanaman C29 menjadi sterol C27  yang menjadi precursor ekdison. Selanjutnya sterol C27 tersebut  dirubah menjadi kolesterol dan kemudian menjadi 7-dehidrokolesterol, yang  menjadi perkursor 3β,14α-dihidroksi-5β-kolest-7-en-6-one. Biosintesis ekdison secara skematik terlihat  pada gambar 2 dan bentuk  strukturnya terlihat pada gambar di bawah ini.

  

Sintesis hormon ekdison ditriger oleh hormon  protorakisotrofik (PTTH) yang dihasilkan oleh sel neurosekretori otak. Hormon ini  tidak disimpan di dalam kelenjar protoraks, tetapi akan segera dilepaskan setelah  disintesis. PTTH yang berfungsi sebagai triger sintesis hormon ekdison ini  efeknya bersifat modulasi melalui penghambatan hormon (inhibitory hormone)  dan melalui regulasi langsung syaraf (direct neural regulation) yang  mungkin dalam bentuk stimulasi (stimulatory) atau penghambatan (inhibitory).  Pada gambar 4 terlihat mode of ection PTTH yang mentriger sintesis  hormon ekdison pada satu sel kelenjar protorak.


Pembuktian bahwa sintesis ekdison ditriger oleh  PTTH telah dilakukan oleh Carroll Willaims (1947) menggunakan metode ligasi dan  implantasi pada  Hyalophora cecropia. Dia  menunjukkan bahwa ketika otak aktif, pupa yang diikat pada bagian tengah  tubuhnya, bagian depannya akan ganti kulit menjadi imago  normal sedangkan bagian belakangnya tidak. Dia  kemudian menemukan alasannya bahwa bagian depan tersebut dapat ganti kulit dan  menjadi imago normal hanya jika otak dan kelenjar protoraknya masih aktif. Kesimpulannya  bahwa hormon dari otak akan menstimulasi kelenjar protorak untuk mengsekresikan  hormon yang menginduksi proses ganti kulit.
Sintesis ekdison terjadi pada kelenjar protoraks,  yang kemudian disekresikan ke dalam hemolimfa. Ekdison merupakan substansi yang  tidak larut dalam air dan diduga ditransportasikan di dalam hemolimfa dengan  cara terikat pada molekul protein. Dari hemolimfa ekdison ini akan dirubah oleh  badan lemak, epidermis, saluran pencernaan tengah (midgut) atau jaringan  lainnya menjadi ekdison yang lebih aktif yaitu 20-hidroksiekdison. Apabila  20-hidroksiekdison tidak terpakai maka di dalam tabung malpigi berubah menjadi  bahan yang akan disekresikan. Variasi hormon ekdison yang bersirkulasi di dalam  hemolimfa dapat terukur karena ada perubahan di dalam sintesis, pelepasan,  degradasi dan ekskresi. Produksi 20-hidroksiekdison akan diimbangi oleh  degradasi dan ekskresi serta konversi dalam bentuk konyugat yang sifatnya tidak  aktif. Oleh karena itu periode hormon bentuk aktif di dalam hemolimf sangat  terbatas. Konyugat ekdisteroid sering dalam bentuk fosfat atau glukosida.
2.        Kelenjar protorak
Kelenjar protoraks yang merupakan tempat  disintesisnya hormon ekdison dijumpai pada stadium pradewasa serangga. Pada  serangga dewasa hormon ini terdapat pada ovari yang kaitannya dalam mengatur  perkembangan embrionik, walaupun hormon tersebut dapat dihasilkan dimana-mana  di abdomen yang diduga berasal dari oenosit. Kelenjar protoraks ini degenerasi  saat serangga bermetamorfose menjadi imago, walaupun ada yang tetap bertahan,  misalnya pada serangga Apterygota dan lokusta yang hidupnya soliter. 
Kelenjar protoraks adalah sepasang  kelenjar yang berbentuk butiran butiran seperti anggur, terletak di belakang  kepala atau pada toraks serangga, atau pada pangkal labium Thysanura (Gambar dibawah ini).  Kelenjar ini banyak disuplai oleh sel syaraf dan trakhe. Syaraf-syaraf ini  berasal dari ganglion subesophageal atau beberapa dari ganglion protoraks, pada  lipas ada hubungan syaraf yang berasal dari otak, sedang pada serangga  Hemiptera tidak ada suplai syaraf sama sekali.

3.        Mode  of action hormon ekdison
Hormon ekdison akan disintesis pada saat  serangga pra dewasa akan ganti kulit atau dalam proses pertumbuhan. Cara kerja  hormon ini berkaitan langsung dengan dua hormon lainnya yaitu: PTTH (prothoracicotropic hormone) dan  hormon juvenil (JH).  Keberadaan JH akan  menghambat produksi hormon ekdison dan dengan stimulasi dari PTTH makan hormon  ekdison akan disintesis, tetapi akibat dari kelimpahan hormon ekdison dalam  hemolimfa, kemudian akan menghambat produksi hormon juvenil (JH).
 
Secara umum aktifitas biokimia yang terjadi  diantara sel sangat tergantung dari adanya reseptor spesifik untuk kerja hormon  tersebut. Respon dari jaringan yang berbeda tergantung pada ada atau tidaknya  reseptor spesifik tersebut, sehingga jaringan yang berbeda akan memberi respon  pada waktu yang berbeda pula. Apabila hormon tersebut tidak bertemu dengan  reseptor spesifik pada waktu yang tepat, maka dengan segera akan didegradasi  dalam hemolimfa.
Sel target dari kerja ekdisteroid adalah  sel epidermis pada proses ganti kulit (molt). Karena ekdisteroid  merupakan bahan lipofilik, maka bahan tersebut dapat melewati membran sel  apabila terikat pada reseptor protein spesifik di dalam sel epidermis.  Ekdisteroid ini kemudian secara langsung akan mengaktivasi atau menginaktivasi  gen dan sintesis protein baru. 
Konsentrasi hormon ekdison pada hemolimfa sangat  menentukan apakah akan dapat mempengaruhi sel target atau tidak. Hal itu  tergantung dari konsentrasi reseptor yang ada pada sel target tersebut.
D.      Proses ganti kulit serangga (molting)
Pada proses pertumbuhan serangga kutikula akan berhenti membesar karena  dibatasi oleh berakhirnya pengerasan kutikula yaitu melalui proses sklerotisasi.  Dengan demikian kutikula yang  mengeras tersebut perlu dilepaskan dan digantikan dengan yang baru. Proses  pelepasan kulit ini disebut dengan ekdisis. Proses ganti kulit  sebenarnya terdiri dari proses apolisis dan proses ekdisis yang  berakhir dengan terbentuknya instar pasca ekdisis (gambar di bawah ini).
Proses apolisis melibatkan terjadinya pemisahan lapisan epidermis dari  kutikula secara bertahap mulai dari bagian anterior menuju posterior. Proses  ini dimediasi oleh molekul 20-hidroksi ekdison. Proses ini terjadi mulai saat  instar melepaskan kutikula pada stadium pharate. Saat lepas dari  kutikula epidermis mulai melakukan pembelahan mitosis, sehingga permukaan  epidermis menjadi luas yang akan menjadi cetakan kutikula yang lebih  meluas/besar.
Proses ekdisis adalah kejadian pelepasan kutikula  tua (eksuvia) yang  sebenarnya dan dimediasi oleh hormon eksklosi. Proses ganti  kulit terdiri dari beberapa tahap sebagai berikut:
1.         Awal apolisis sepanjang  anteroposterior secara bertahap
Proses apolisis ini dimulai segera setelah  terjadinya pengerasan kutikula. Pada periode aktif makan setelah terjadinya  ekdisis, kerapatan cel menurun, kutikula di atas sel epidermis meregang dan sel  epidermis menjadi bentuk squamose (pipih).
2.         Pembelahan mitosis sel-sel epidermis  (terjadi pertambahan sel dan pelipatan permukaan lapisan epidermis).
Pembelahan mitosis mulai terjadi, jumlah  sel bertambah dan meningkat tajam serta diikuti dengan bentuk sel menjadi  kolumner. Karena sel bentuknya berubah, mengakibatkan terjadinya tegangan  permukaan epidermis sehingga sel epidermis mulai terpisah dari kutikula. Mitosis  epidermal ini mendahului selesainya apolisis. Pemisahan kutikula diatasnya  epidermis ini disebut proses apolisis. Ruang apolisis  yang dibentuk antara epidermis dan kutikula  disebut rongga eksuvial atau rongga subkutikuler. Pada Collembola bagian  membran luar dari sel epidermis mengeluarkan vesikel-vesikel membentuk busa  sehingga mendorong lapisan kutikula terlepas dari epidermis. Lepasnya droplet ke dalam rongga ini dengan cara eksositosis plasma  membran.
3.        Sekresi cairan molting
Droplet tersebut diduga prekursor enzim moulting yang masih  tidak aktif. Pada beberapa spesies enzim moulting disekresikan ke dalam ruang  eksuvial setelah selesai proses apolisis. Enzim ini ada yang disekresikan dalam  bentuk granule dan pada beberapa Lepidoptera dikeluarkan dalam bentuk gel.  Ruang apolisis berangsur angsur menjadi besar karena adanya akumulasi enzim  atau cairan moulting. Enzim pencerna kutikula ini terdiri dari enzim khitinase,  protease menyerupai tripsin dan aminopeptidase. Enzim ini masih tetap belum  aktif sebelum selesainya pembentukan lapisan luar epikutikula dari kutikula  baru.
4.      Formasi epikutikula luar  pharate pada permukaan epidermis yang telah mengalami apolisis dan crenulat,  yang akan menghasilkan patokan pola permukaan kutikula pharate.
5.      Sekresi epikutikula saat serangga dalam  keadaan pharate.
6.      Aktivasi enzim cairan molting, terjadi  proses lisis endokutikula dan  terjadi penyerapan (resorpsi) endokutikula lama.
Aktivasi enzim dihubungkan dengan  terjadinya transport potassium ke dalam ruang eksuvial disertai dengan aliran  air. Cairan ini disebut cairan moulting dan mengandung komposisi ion sebagai  buffer enzim yang mengatur pH selama pencernaan kutikula. Enzim tersebut akan  mencerna seluruh lapisan kutikula yang tidak tersklerotisasi tetapi tidak ada  pengaruhnya terhadap otot-otot atau syaraf yang berhubungan dengan kutikula  lama. Produk kutikula yang tercerna ini diabsorbsi melalui mulut atau anus dan  mungkin juga secara langsung melalui integumen itu sendiri.
7.        Deposisi calon eksokutikula  pharate
Deposisi kutikula baru berangsur-angsur  bertambah seiring dengan  pencernaan dan  penyerapan kembali kutikula lama. Keadaan ini dapat mengkonservasi 90% kutikula  lama.
8.        Ekdisis
Saat cairan  molting dan  hasil cernaannya diresorbsi, kutikula lama makin menipis dan lama kelamaan  habis dan meninggalkan epikutikula dan eksokutikula lama yang terpisah dari  prokutikula baru. Rongga apolisis jelas terpisah dan serangga mulai melakukan  aktivitas ekdisis. Ekdisi diawali dengan pecahnya garis ekdisis yang dapat  dilakukan dengan berbagai cara. PadaSchistocerca atau serangga lainnya,  terjadi peningkatan volume darah. Persiapan ekdisis diawali dengan menelan udara  atau air, kemudian ditelan ke dalam usus sehingga tekanan hemolimf meningkat.  Darah dipompa ke bagian toraks atau kepala dan memecahkan bagian integumen yang  tipis atau lemah. Ekdisis biasanya dimulai dari kepala atau toraks dahulu  kemudian diikuti oleh abdomen dan embelannya.
9.        Ekspansi kutikula baru
Setelah selesai ekdisis, instar baru akan mengawali aktivitas  makan dan mulai mengawali siklus apolisis dikuti ekdisis. Kutikula baru yang  masih lentur akan mengembang sejalan dengan pertumbuhan dan perbesaran  tubuhnya. Ekspansi kutikula akan diikuti proses tanning dan akan terhenti  hingga kutikula mengeras dan segera akan melakukan moulting berikutnya.
10.    Permulaan tanning 
Enzim fenol oksidase terlibat dalam proses tanning kutikula.  Enzim ini pada awalnya berada di dalam hemolimf dalam bentuk proenzim tidak  aktif, kemudian diaktivasi oleh enzim yang berasal dari ekstrak kutikula. Ada tiga  jenis enzim profenol oksidase. Dua enzim yang  mengoksidasi L-dopa yaitu dopa oksidase dan satu enzim yang mengoksidasi dihidroksifenilalanin  (dopa) maupun tirosin (tirosin adalah substrat awal dalam tanifikasi). Struktur  protein dan enzim pada kutikula berpartisipasi dalam proses tanning  yang disebut sklerotisasi. Proses ini  melibatkan hidroksilasi tirosin menjadi dihidroksifenilalanin (DOPA) yang  didekarboksilasi menjadi dopamine dengan perantara dopa-dekarboksilase. Dopamin  kembali diasetilasi membentuk N-asetildopamin. Melalui system fenolase  N-asetildopamin dioksidasi menjadi o-Quinon yang bereaksi dengan kelompok amino  di dalam protein kutikula.
11.    Sekresi endokutikula 
12.    Sekresi lilin 
13.    Lanjutan deposisi dan  tanifikasi endokutikula 
14.    Formasi membran apolisis untuk  molting berikutnya.


Urutan kejadian dalam pengaturan proses apolisi  dan pembentukan kutikula adalah sebagai berikut:
1.        PTTH (prothoracicotropic hormone) akan merangsang  kelenjar protorak untuk mensintesis dan melepaskan hormon ekdison,
2.        Hormon  ekdison beredar di dalam hemolimfa,
3.        Hormon ekdison  akan mengalami hidroksilasi pada jaringan tubuh menjadi 20-hidroksiekdison,
4.        20-hidroksiekdison mengatur gen yang akan membentuk  kutikula.
5.        Hormon  pemicu ekdisis (ecdysis trigerring hormone, ETH) merangsang pelepasan hormon eklosi (eclosion hormone, EH) dari otak,ETH juga  akan mengaktifkan perilaku pre-eklosi,
6.        Simpul  umpan-balik positif antara ETH dan EH mengakibatkan pelepasan EH  dalam jumlah besar,
7.        Pelepasan  EH terpusat merangsang pelepasan Crustacean cardioactive peptide (CCAP)  dari neuron pada ganglion ventral, EH yang  bekerja melalui hemolimfa mengakibatkan pengenyalan kutikula
8.        CCAP  mengaktifkan perilaku eklosi dan menghentikan perilaku pre-eklosiCCAP yang bekerja melalui hemolimfa  meningkatkan denyut jantung,
9.        Bursikon  mula-mula merangsang pengenyalan kutikula, kemudian mengaktifkan proses  sklerotisasi kutikula.


Urutan proses ganti kulit tersebut di atas dapat  digambarkan seperti pada gambar berikut:

BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Kesimpulan makalah ini antara lain :
1.        Sistem endokrin terdiri dari sekelompok organ (kadang disebut sebagai kelenjar sekresi internal), yang fungsi utamanya adalah menghasilkan dan melepaskan hormon-hormon secara langsung ke dalam aliran darah. Hormon berperan sebagai pembawa pesan untuk mengkoordinasikan kegiatan berbagai organ tubuh. Berbagai makhluk hidup mempunyai hormon untuk mengkoordinasikan kegiatan dalam tubuhnya, seperti pada insecta.
2.        JH (Juvenil Hromon) merupakan hormon yang mempunyai banyak peranan dalam mengatur proses-proses fisiologi serangga. JH mempunyai beberapa peranan yang besar terutama dalam mengontrol pertumbuhan dan perkembangan serangga.
3.        Pengaturan proses metamorfose merupakan mekanisme hormonal yang cukup rumit dan melibatkan beberapa organ secara serentak. Pada mulanya, apabila saat ganti kulit tiba, maka korpora kardiaka pada otak mengeluarkan suatu hormon tropik ke protoraks yang disebut hormon protorakotropik.
B.       Saran
Saran untuk makalah ini, agar dapat dimanfatkan dengan sebaik-baiknya dan agar para pembaca melakukan lagi kajian-kajian mengenai hormon pada insecta.
DAFTAR PUSTAKA



Bede, J. C dan S.S. Tobe. 2000. Activity of insect juvenile hormon III: seed germination dan seedling growth studies. Chemoecology Vol. 10 (2000) : 89–97

Bede, J. C, Peter E.A. Teal, Walter G. Goodman, dan Stephen S. Tobe. 2001. Biosynthetic Pathway of Insect Juvenile Hormon III in Cell Suspension Cultures of the Sedge Cyperus iria. Plant Physiology, October 2001, Vol. 127, pp. 584–593,

Caroci, A.S., Y. Li., F. G. Noriega. Reduced juvenile hormone synthesis in mosquitoes with low teneral reserves reduces ovarian previtellogenic development in Aedes aegypti. The Journal of Experimental Biology 207 : 2685-2690

Diana E. Wheeler dan H. F. Nijhout. A perspective for understdaning the modes of juvenile hormon action as a lipid signaling system. BioEssays 25:994–1001, 2003.

Elekonich, M.M dan G.E. Robinson. 2000. Organizational and activational effects of hormones on insect behavior. Journal of Insect Physiology 46(2000) : 1509–1515

Emlen, D.J dan H.F. Nijhout. 1999. Hormonal control of male horn length dimorphism in the dung beetle Onthophagus taurus (Coleoptera: Scarabaeidae). Journal of Insect Physiology 45 (1999) : 45–53

Emlen, D.J dan H.F. Nijhout. 1999. The Development Dan Evolution Of Exaggerated Morphologies In Insects. Annu. Rev. Entomol. 2000. 45:661–708.

Gilbert LI, R Rybczynski, S Tobe. 1996. Endocrine cascade in insect metamorphosis. In LI Gilbert, J Tata, P Atkison, eds. Metamorphosis: post-embryonic reprogramming of gene expression in amphibian dan insect cells.San Diego: Academic Press, pp 59-107.

Kou, R. dan S.J Chen. 2000. Allatotropic dan nervous control of corpora allata in the adult male loreyi leafworm, Mythimna loreyi (Lepidoptera: Noctuidae). Physiol. Entomol. 25 : 273-280.

Li, S., Y.C. Ouyang, E. Ostrowski, D.W. Borst. 2005. Allatotropin regulation of juvenile hormone synthesis by the corpora allata from the lubber grasshopper, Romalea microptera. Peptides 26 (2005) 63–72

Lorenz, M.W., K.H.Hoffmann, G.G.de. 1999. Juvenile hormone biosynthesis in larval and adult stick insects, Carausius morosus. Journal of Insect Physiology 45 (1999) : 443–452
Martinez, S. H, J. G. Mayoral, Y. Li, F. G. Noriega. 2007. Role of juvenile hormon dan allatotropin on nutrient allocation, ovarian development dan survivorship in mosquitoes. Journal of Insect Physiology 53 (2007) : 230–234

Moczek, P.A., dan H.F. Nijhout. 2003. Developmental mechanisms of threshold evolution in a polyphenic beetle. Evolution and Development 4 :252-264.
Nijhout, H.F. 2003. The control of body size in insects. Developmental Biology 261 (2003) : 1–9

Robinson, G.E dan E. L. Vargo. 1997. Juvenile Hormone in Adult Eusocial Hymenoptera: Gonadotropin and Behavioral Pacemaker. Insect Biochemistry and Physiology 35:559–583

Sen, S.E., A.E. Sperry, M. Childress, D.E. Hannemann. 2003. Juvenile hormon biosynthesis in moths: synthesis dan evaluation of farnesol homologs as alternate substrates of farnesol oxidase. Insect Biochemistry dan Molecular Biology 33 (2003) 601–607

Shelby, J.A, R. Madewell, A.P. Moczek. 2007. Juvenile Hormone Mediates Sexual Dimorphism in Horned Beetles. J. Exp. Zool. (Mol. Dev. Evol.) DOI 10.1002/jez. : 1-11

Smith SL. 1985. Regulation of ecdysteroid titre: synthesis. In GA Kerkut, LI Gilbert, eds. Comprehensive insect physiology, biochemistry dan pharmacology. Vol 8.Oxford: Pergamon Press, pp 295-341.

Verma, K.K. 2007. Polyphenism in insects and the juvenile hormone. J. Biosci. 32(2) (2007) : 415–420.

Wyatt GR, Davey KG. Cellular dan molecular actions of juvenile hormon.2. Roles of juvenile hormon in adult insects. Adv Insect Physiol 1996;26:1–155.


2 komentar:

  1. Assalamualaikum..
    Mba saya bergerak di bidang pertanian, saya ingin banyak konsultasi mengenai seluk beluk serangga, sepertinya mba banyak tau, untuk konsultasi bisa via apa ya mba?
    Ini email saya cahyantoantho281@gmail.com
    Jika berkenan bisa balas ke email sya t3rsebut...trims ya mna

    BalasHapus
  2. Terimakasih, infonya sangat membantu😊

    BalasHapus